Jika aku membaca Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata, maka lansung saja teringat dengan masa-masa kecil dulu. Sebab di tahun 80 –an itu juga aku menikmati masa kanak kanak yang serupa dengan yang dialami penulis yang cerdas itu di tanah Belitung sana. Bedanya, penulis fiksi sains yang kukagumi ini menulis dengan latar belakang daerahnya kususnya SD Muhammadiyah dan kehidupan di sekitar tambang timah besrta budaya Melayunya yang begitu unik, sedangkan tulisan yang Anda baca ini sekedar kenangan tentang kepolosan kanak-kanak dalam mencintai budaya Jawa yang dikenal dengan nama kethoprak. Yaitu sandiwara tradisional yang adegan-adegannya diirngi dengan gamelan dan mengambil cerita dari babad tanah jawi.
Baiklah, kita akan mulai kisah ini dari dusun kecil di lereng Merapi…
Setiap minggu sore kami sudah menanti di jalan depan rumah, memandang jauh di ujung jalan yang menghubungkan jalan kampong yang masih berpasir dengan jalan yang sudah beraspal. Sambil terus berharap dari jalan itu muncul sebuah andong yang merayap perlahan menuju pada tempat dimana kami duduk menanti. Jika tampak ada andong , maka kami berdiri sambil menunjuk-nunjuk memberi tahu yang lain. Mereka semua ikut berdiri dengan wajah ceria. Tetapi ketika andong itu berbelok pada tikungan dan tak tampak lagi, hati kami kecewa. Itu bukan andong yang kami tunggu-tunggu.
Ada apa dengan andong ini ? Karena belum ada listrik maka tivi hanya bisa dinyalakan jika ada daya yang tak lain berasal dari aki ( accu) dan tentu saja ketika dayanya sudah lemah maka aki ini harus disestrum ke kota. Untuk mengemat biaya kami menitipkan pada seorang kusir andong yang biasa mengangkut barang-barang ke kota.Dengan imbalan sedikit ongkos, tanpa susah payah pergi jauh, aki sudah bisa kami gunakan kembali. Dalam satu kali berangkat, andong bisa memuat sekitar sepuluh aki, yang memang sebagian besar adalah aki untuk menyalakan tivi.
Setelah sekian lama andong tak lagi nampak maka kami duduk kembali sambil bermain pasir di tepi jalan. Jika terlihat andong kami mengulangi berdiri dan bersorak . T etapi lagi-lagi andong itu lenyap dan kami melupakannya dengan menggambar di pasir. Barulah ketika ada andong yang berjalan mendekat ke arah kami dan tidak berbelok lagi, kami bisa bersorak dengan lega, itu lah andong yang membawa aki kami.
Kami segera membuka jalan selebar-lebarnya. Sampai merelakan kaki kami yang satunya terperosok dalam selokan demi andong yang membawa hiburan itu bisa lewat dengan leluasa. Sementara kusir andong menurunkan aki , kami membukakan pintu rumah dan menghamparkan sebuah tikar mendong, bersiap-siap duduk di depan tivi.
Kami ingin cepat-cepat melihat layar yang berwarna hitam putih itu bersura dan mengeluarkan gambar yang bisa bergerak sendiri. Pernah terfikirkan, bagaimana ya, orang yang begitu besar bisa masuk tivi? Apa mereka tidak sumpek berada dalam kotak sekecil itu?:)
Yang kami tunggu adalah pembacaan susunan acara di malam minggu ini. Dengan harap cemas kami mendengarkan suara penyiar yang menyampaikan acara tivi dari sore hingga malam nanti. Dan ketika acara kethoprak disebut, serentak kami bersorak, “ Horrreeee, kethopraknya main !” Sebab walau kethoprak adalah acara tetap di TVRI setiap malam minggu, tetapi kadang acara itu digeser seminggu lagi karena adanya siaran langsung yang dianggap penting. Seperti pidato kenegaraan atau siaran kunjungan bapak presiden untuk sebuah acara peresmian.
Jadilah malam itu kethoprak hadir di tengah- tengah kami, memberi hiburan yang segar dan menyenangkan. Tua muda, besar kecil semua menonton lethoprak di satu rumah, karena memang hanya beberapa rumah yang punya tivi. Yang paling disukai adalah adegan dagelan karena lucu dan semua bisa tertawa. Ketika ada adegan wanita yang didekati laki-laki sambil kadang dicubit-cubit , orang –orang dewasa tersenyum senyum. Itu namanya adegan gandrung. Pemain lelakinya nembang sambil berjalan atau mengejar si perempuan yang kadang menjerit , kadang mau-mau saja dipegang pegang oleh si lelaki. Dan inilah adegan yang paling tidak aku sukai karena memakan waktu yang terlalu lama, sehingga cerita yang berjalan harus terpotong dan dilanjutkan minggu depan. Uhh, andai tak ada gandrung, tentu lebih asyik, batinku kala itu.
Pemain yang bersuara gandem yang sangat aku suka bernama Widayat dari grup siswo budaya Yogyakarta. Mendengar suaranya membuat satu nuansa seorang lelaki jawa yang agung dan mengayomi. Ia sangat cocok memerankan seorang raja yang berwibawa atau pangeran yang tampan .
Sedang pemain wanita yang kukagumi karena pintar acting dan suaranya bagus adalah Marsidah.Ia bisa berperan menjadi emban, ratu atau perawan desa yang genit, dengan sangat baik. Suaranya kadang manja, kadang melengking penuh keberanian, di saat lain terdengar anggun berwibawa.
Kami pernah kecewa tak ketulungan , ketika Widayat baru saja masuk dalam adegan tiba-tiba tivi mati karena aki kehabisan strum. Inilah yang kami sebuat sebagai malam minggu yang kelam.