Teringat Ismail, ia kembali bergegas menuruni bukit dan menuju tempat ismail berbaring. Ia mendekapnya. Menteskan keringatnya di bibir anak yang masih lemah itu. Perlahan bibir mungil itu begerak, merasakan air yang mungkin bisa menyegarkannya walau hanya beberapa tetes.
Aku tidak boleh putus asa. Barangkali saat ini pada pedagang itu sedang ada di bukit Shafa. Bukankah aku telah meninggalkannya tadi. Ya, mungkin sekali ada pedagang yang kini tengah lewat
.
Ismail kembali di letakkan. Hajarpun mengejar harapan yang dipupuknya sendiri . Dan ketika ia tiba di atas , ia kembali lagi turun karena setelah menunggu tak ada seorangpun yang diharapkan. Apalagi air. Hatinya semakin kawatir, takut jika Ismail aka menemui kematiannya di lembah mati ini. Mengingat itu air matanya deras mengalir. Bercampur dengan keringat yang membasahi wajahnya.
Kembali dipeluknya Ismail begitu sampai di bawah. Dipandanginya wajah mungil itu. Ia cemas . Tetapi begitu Ismail bergerak-gerak semangatnya kembali pulih . Ia memandang ke bukit Marwa dan ingin kemabali lagi ke sana.
Semoga jalan yang melingkar bukit itu ada yang melewatinya sekarang.
Langkanya tersaru-saruk oleh kelelahan yang pekat ketika ia kembali mendaki Marwa. Dan hanya kesunyian dan kerasnya batu yang bisu menyambutnya . Ia pun kembali turun. Menyambangi Ismail dan kembali mendaki bukit Shafa. Begitu sampai enam kali ia telah melakukannya , tetapi alam sepertinya tak bersahabat.
Ini yang ketujuh hajar menuruni bukit Marwa tanpa hasil . Sementara senja telah mulai turun. Langit berwarna tembaga , cahayanya yang kekuningan membalur sempurna ke seluruh arah mana saja yang ia pandang. Sempurna, seperti baluran kesedihan, kebingungan dan keletihan yang sempurna mengoyak jiwa dan raganya. Tak ada lagi kini tempatnya bergantung. Karena alam tak memberikan satu tetespun air yang sangat ia dambakan, terutama untuk anaknya yang lemah tiada daya.
Angin, apa kau juga tak mau beranjak untuk membawa udara basah ke sini, kukira kelembabanmu cukup membuat kami tak kegerahan. Matahari, bujuklah angin agar membawa awan kemari. Dan kau gurun, getarkan dirimu agar para manusia mengethaui bahwa di sini terdapat dua nyawa yang meregang.wahai bukit yang perkasa, teriakkanlah kegelisahan kami pada langit.
Tapi yang ada hanya senyap. Semua bisu. Hajar terlempar dalam ruang tanpa harapan.
Hatinya luruh seperti matahari yang pelan –pelan memasrahkan dirinya pada bumi yang menelannya di ufuk barat. Ia memasrahkan dirinya penuh pada Allah sang Pencipta. Dipejamkanlah matanya beberapa saat.
Keheningan turun dalam jiwanya.
Kini ia hendak kembali pada Ismail. Dengan langkah yang gemetar ia kuatkan untuk tetap melangkah.
Sabarlah, nak. Ibunda datang. Kau akan hangat di pelukan Bunda malam ini. Kita akan berdoa pada pemilik alam ini. Dialah pemilik kehidupan dan kematian kita berdua.
Tetapi ketika jarak tinggal beberapa langkah mata Ibu yang tegar itu tiba-tiba bersinar. Dilihatnya ada cahaya kemilau di dekat kaki Ismail. Kaki mungil itu bergerak-gerak lucu mengepakan cahaya yang berkilauan. Hajar mengerjapkan matanya berkali kali.
“Subhanallah. Air, air ! Zami, zami ! “ Ia berteriak penuh suka cita.
Dengan rasa syukur yang penuh membaluri hatinnya, hajar menciduk air itu dengan tangan lalu ia tuangkan kemulut ismail. Bayi itu tertawa lucu , wajahnya merah dan riang. Hajar menengadah, mengucap syukur dengan segenap jiwa dan raganya.
Angin gurun mengalunkan senandungnya , ketika seluruh semesta tak memberinya harapan, maka ia melepaskan harapan itu ke langit, membiarkannya dirinya hampa oleh ketergantungan, dan Allah sendiri yang akan memberinya harapan baru.
Terima kasih telah menyemangati. Harus optimis dan sabar.
BalasHapusKembali kasih Bu Nurul hebat
HapusTerimakasih bu Rohati
BalasHapus