Social Icons

Pages

Senin, 08 Agustus 2022

GURU MINIMALIS

 

Masih ingatkah Anda tentang sebuah metode KonMari yang diperkenalkan Mario Kondo dari Jepang beberapa tahun yang lalu? Ia memperkenalkan suatu cara untuk mengurangi dan menata barang-barang yang ada di rumah agar rapi. Lalu di Indonesia sendiri ada komunitas serupa yang dinamakan gerakan Gemar Rapi. Konsepnya hampir sama, membenahi barang-barang, merapikan dan membuang yang tak berguna. Bedanya komunitas Gemar  Rapi  menyesuaikan metode ini sesuai dengan budaya asli Indonesia. Warga Indonesia yang punya latar belakang bekas bangsa jajahan mempunyai kemelekatan terhadap barang-barang yang   begitu kuat. Ibarat orang susah, ketika mendapatkan kesempatan untuk mengumpulkan barang yang meluber di pasaran mereka berlomba-lomba hingga menumpuk di rumah. Apalagi saat ada produk murah dari China mereka dengan mudah memborong barang-barang itu.

 

Apa dampaknya bila kita mengumpulkan barang-barang terlalu banyak? Sepatu berpuluh pasang, baju di lemari menumpuk padahal jarang dipakai, aksesoris  rumah, jilbab atau aksesoris kendaraan kita borong terus. Panci-panci yang dibeli tahun kemarin belum dipakai untuk masak sudah beli panci baru lagi dan sebagainnya. Saya sering melihat orang membeli bukan karena membutuhkan tetapi karena temannya membeli barang itu juga. Jadilah rumah kita seperti museum yang penuh barang-barang jarang dipakai. Kalau sudah benar-benar penuh larilah barang-barang itu ke tempat sampah. Dunia akan penuh sampah kalau setiap orang  membuang barang-barangnya setiap hari.

 

Banyaknya barang-barang membutuhkan perawatan, paling tidak menempatkan barang itu agar mereka “punya rumah,’ di rumah kita. Kalau tak punya rumah sulitlah kita menemukan alamat mereka. Mau mencari kunci sepeda motor saja butuh bermenit menit karena tak tahu tegeletak di mana. Mencari sebuah peniti jilbab saja sudah membuat  galau karena dengan kacaunya barang-barang itu menghambat waktu kerja kita. Apa akibatnya ? Waktu kita tersita untuk membenahi barang-barang yang kita punya, kala tak mau menerima risiko lebih fatal, terganggunya pekerjaan utama.

 

Sebagai guru yang lebih  mengutamakan perkembangan kognitif dibandingkan mengumpulakn barang-barang saya kira tepat kalau menjalankan pola hidup sederhana, memiliki sesedikit mungkin barang-barang. Mengapa ? Usia kita amat terbatas, misal usia kita enam puluh tahun, sebenarnya kita hanya hidup selama empat puluh tahun. Bukankan kita tidur delapan jam sehari semalam , yang berarti sepertiga dari hidup kita. Kalau hidup kita enam puluh tahun berarti yang dua puluh tahun digunakan untuk tidur. Sedang yang empat puluh untuk beraktifitas. Bisa kita kurangi lagi, kita tidak tahu nanti di ada ”jadwal  sakit “ yang memaksa untuk terbaring, tidak produktif. Asumsikan saja lima tahun tidak produktif, ditambah masa balita yang belum  produktif, kira-kira tujuh tahun. Sehingga tahun efektif kita hanya sekitar tiga puluh tiga tahun jika jatah usia kita enam puluh tahun. Nah, sedikit bukan?  Alangkah sayangnya kalau waktu yang sedikit itu habis untuk merawat barang-barang. Coba berapa baju yang sering kita pakai, berapa pasang sepatu yang sering kita pakai, berapa jumlah alat memasak yang benar-benar kita gunakan? Alih-lalih kita mengoleksi buku yang menunjang kebutuhan inetelektulitas , kita malam memborong barang-barang yang kurang berguna. Sejatinya, kita hanya membutuhkan barang-barang untuk hidup ini. Saya kagum pada lelaki hebat yang menjadi utusan Allah, kala wafat ia tak punya sesuatu barang untuk diwariskan kecuali sebilah pedang,  baju perang dan sepasang sepatu hadiah dari  Raja Negus. Lihat bahwa semua yang beliau tinggalkan adalah barang-barang yang memang beliau pakai, bukan barang-barang yang sifatnya untuk mencari kesenangan.

 

Darimana barang-barang itu berasal ?

 

Berasal dari sikap kita yang gemar mengumpulkan barang, mulanya membeli tanpa pertimbangan matang apakah barang itu begitu penting atau tidak penting. Di sinilah kita perlu membuat daftar prioritas barang yang akan kita beli. Saat ini para penjual begitu getol untuk membuat konsumennya tertarik. Berbagai media mereka banjiri dengan promo.

 

 

 Kita saja  yang sudah lebih matang berfikirnya  dibandingkan mereka yang punya wawasan lebih dangkal tentang sikap boros, itupun seringkali  terjebak dalam membeli barang-barang kurang berguna. Misal di sekolah, begitu sales menawarkan  alat masak model baru, sibuklah kita memilih dan menawar. Sampai rumah taruh saja di lemari alat dapur, sampai satu tahun belum dipakai.

 

Meski barang-barang membanjiri pasar kalau niat kuat tertancap di hati bahwa kita ingin hidup sederhana dengan menggunakan barang-barang yang perlu saja, saya yakin para sales akan segera meninggalkan kita dengan tangan kosong. Bukan ingin mengurangi rezeki sales niat kita, justeru kita membantu para sales untuk ikut berbenah juga. Permintaan pasar terhadap barang yang berkualitas yang makin banyak dengan mengesampingkan barang murah tetapi kurang kualitas, membuat mereka juga mencari dagangan sesuai permintaan pasar. Saya cukup prihatin dengan membanjirnya produk China yang kebanyakan barang-barang murah tetapi cepat rusak. Memang murah dan mudah mendapatkanya tetapi kalau hanya terpakai dalam hitungan bulan saja, bukankah jatuhnya menjadi mahal sebab kita harus membeli lagi? Jadi menurut saya, ya sikap kita yang perlu dibenahi. Perlu bersabar untuk membeli produk berkualitas, rajin memilah dan memilih saat yang tepat untuk membeli serta menanyakan lagi, “apa memang saya perlu barang itu sekarang?”

 

Memang perlu perjuangan agar kukuh bagai baja melawan godaan membeli. Alam bawah sadar bangsa Indonesia yang pernah dijajah sehingga hidup dalam kekurangan bertahun-tahun membuat rasa ingin mengumpulkan barang sebanyak banyaknya itu hadir kala barang  bertebaran di pasaran. Inilah salah satu sebab mengapa budaya hidup sederhana di tanah air masih menjadi prinsip  yang terasa asing. Padahal jauh hari Islam telah mengajarkan untuk hidup tak berlebih-lebihan.

 

 …Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” ( Al A’raf : 31)

 

 


 

 

Teruskan membaca... »»  
 

Sample Text