Dalam
kenangan, kumasuki kamar 9-10 yang berada di tengah-tengah lantai dua gedung
pesantren putri Al Muayyad ini. Kala itu tahun 1990. Sebenarnya kamar kami,
9-10 adalah dua kamar yang dijadikan satu, maka namanya kamar 9 – 10, artinya
penghuni kamar 9 dan kamar 10 yang disatukan dalam sebuah kamar yang ukurannya
dua kali lipat dibandingkan dengan kamar –kamar yang lain. Menurutku kamar kami
sebenarnya bukanlah kamar yang sebenarnya, tetapi lebih mirip sebuah persegi
panjang yang terbentuk dari lemari-lemari yang berjajar sebagai dinding atau
pagar. Di luar pagar itu ada akses gang kecil yang digunakan untuk lalu lalang
para santri dari kamar-kamar lain.
Untuk
memasuki kamar 9-10 ada satu pintu yang tersedia, berada di tengah-tengah di
sisi selatan. Di situlah lemariku berada, tepatnya di sebelah timur pintu gerbang.
Untuk mengingat nama-nama dan wajah
teman-teman kamar itu haruslah mengingat di mana letak lemarinya, begitu memori
otakku bekerja. Ya, wajar, sudah sekitar tiga puluh lima tahun yang lalu, jadi
ingatan ini hanyalah samar-samar .Mungkin
beda kepala beda cara mengingatnya ya. Aku yang cendenrung bergaya belajar
visual lebih nyaman kalau mengingat dengan menggambarkannya terlebih dahulu
dimana letak lemari-lemari itu.
Aku bisa
mengamati dengan jelas bahwa setiap santri akan berdiri cukup lama di titik
depan lemarinya masing-masing. Dari pagi hari memulai persiapan ke sekolah, makan di siang hari, mempersiapkan belajar di sore hari, sampai malam hari mereka
bersiap tidur, pasti tak jauh-jauh dari lemari miliknya. Bahkan kalau ada teman
kamar lain yang datang mereka seringkali mengobrol di depan lemari tuan rumah.
Yach, mirip kamar tamu mini gitulah. Haha, padahal titik itu begitu sempit,
jangan bayangkan lemari itu berdaun pintu lebar berjumlah dua , tiga atau
lebih. Ya Allah, lemari itu hanya sebuah lemari kecil berukuran lebar sekitar
70 cm dan tinggi setinggi kepala kami bahkan ada yang setinggi sebatas telinga
kami saja. Bentuknyapun beraneka ragam. Kami menyimpan pakaian dan buku-buku di lemari mungil itu. Kadang
juga piring bersih kami simpan di atas atau bawahnya, berdampingan dengan ciduk
sabun mandi meski tak disarankan. Di sebelah kamar sudah disediakan tempat
ciduk sabun mandi tetapi kadang teman-teman suka menyimpannya di bawah lemari,
termasuk aku. Takut menguap kalau aku taruh di tempat lain.
Aku sering
duduk di depan lemari tanpa bersandar, karena pasti kalau aku bersandar maka
lemari itu akan bergeser dan menutupi gang di sebahnya. Aku kadang iri dengan lemari
punya mbak Mardiyah yang letaknya di bersentuhan dengan dinding tembok di
sebelah utara. Nyaman buat bersandar, tak takut oleng tertimpa punggung kami
yang lelah sehabis sekolah. Di sebelah timurku ada lemari Mbak Ika yang
rumahnya Jogja. Ke pojok tenggara ada mbak Bintu mahasiswi UNU yang punya perawakan
tinggi semampai dam bibir yang luwes
kalau sedang bercerita. Di dekatnya ada mbak Tobibah yang berambut pendek lurus
dan berpipi padat menggemaskan. Ke utara, tepat di tengah-tengah bagian timur
ada mbak Nur Azizah dari Semarang. Ia santri yang cenderung pendiam dan selalu
menggelar tikar di depan lemarinya kalau mau bersiap tidur malam hari.
Pojok sebelah timur
laut aku agak lupa, tetapi mungkin di sana ada lemari Siti Sukaeni atau mbak IIn
dari Krobokan Semarang yang menjadi teman sebangkuku di kelas Biologi. Beberapa
kali aku menginap di rumahnya di Semarang sana, ia adalah gadis yang tegar
dalam membimbing adik-adiknya. Nama ibunya sama dengan nama ibuku. Tulisannya rapi
dan bagus, walau kalau ulangan sering nyotek padaku terutama bahasa Arab, haha.
Ke sebelah barat lagi ada lemari mbak Mardiyah
yang sangat aku impikan posisinya. Lemari itu berwarna hitam, sedikit lebih
besar dan berada di tempat yang nyaman untuk bersandar sepertinya.
Berjalan ke barat di
sana ada deretan lemari dari adik adik yang berasal dari Karawang. Ada Ifi, Ade Sa'diyah dan lainnya. Juga adik-adik dari Boyolali dan sekitarnya, ada Isma,
Umi Kalsum dan Zulfa. Ifi punya wajah
yang khas sehingga mudah kuingat, wajahnya manis dan agak centil, berbeda dengan
kakaknya Syarifah yang Ayu dan lebih pendiam
dan keibuan. Umi Kalsum yang dari Kalioso punya wajah yang tirus juga mudah kuingat. Sedang Zulfa paling
cantik diantara mereka dan paling vokal .
Zulaikah,
yang rumahnya dekat dengan pasar Ampel Boyolali, yang ayahnya juragan sapi dan ibunya
berjualan di pasar Ampel, mempunya wajah imut-imut. Layak diberi status anak ragil
yang manja. Aku pernah menginap di rumahnya yang sunyi, besar dan nyaman.
Adik yang lain,
Istiroah, ia punya rambut panjang yang dikepang dua, seperti gadis-gadis tahun
75an. Dan satu adik yang bermata India adalah Umi Mubarokah dari Klaten. Ia gadis
yang sederhana dalam berbicara dan bersikap dibandingkan dengan teman-teman
lain. Lemarinya di sebelah barat daya bersama dengan lemari Istiroah dan
lainnya.
Satu kakak
kelas yang aku lupa dimana lemarinya tetapi masih sangat kuingat adalah mbak
Suniah dan mbak Umi Hastuti. Mbak Umi yang punya rambut Ikal dan murah senyum
ini berasal dari penggaron deket
mranggen. Ia selalu tersnyum, jarang tampak masam wajahnya. Sedangkan mbak
Suniah adalah kakak yang jalannya lenggak lenggok dengan badan yang sintal bak
peragawati.
O, iya ,
masih telewat dua teman seangkatan yang aku lupa letak lemarinya tetapi begitu
lekat di ingatan. Muyasaroh dan Fauziyah. Keduanya sering bersama kemanapun.
Muyas dari Ngawi dan mbak fauziyah dari gunung kidul. Muyas ini begitu vocal dan
selalu ceria, bahkan ketika patah hati sekalipun ia tetap tertawa, haha.
Fauziyah teman ramah dan kalau mengobrol
gaya gunung kidulnya begitu kental. Ia juga murah hati, aku sampai kekeyangan
kala main ke rumahnya di gunung kidul sana, tepatnya di daerah Sambeng.
Tepat di bagian barat
ada lemari mbak Nur Fauziyah yang berparas ayu seperti paramitha Rusadi. Ia
berasal dari Purwokerto. Berdekatan dengan lemari Tutut Kusriani, adik kelas
yang punya tubuh tegap dan punya hoby renang kala masing di kampung halaman di
Lampung sana. Ia adalah adik kelas yang paling aku ingat. Kata-katanya tegas
dan terus terang, sering mengatakan dengan jelas apa yang kadang kurang bisa
kukatakan. Ia bisa bilang “ tidak “ dengan tegas apabila ada hal yang kurang
kami suka. Sedangkan aku terikat dengan kata “pekewuh” sebagai orang jawa.