Social Icons

Pages

Jumat, 02 September 2022

SEMUA TEMANKU HEBAT

     Hotel rawa pening yang dingin tiba-tiba terasa hangat kala api unggun mulai menyala malam itu. Dikitari oleh tiga puluh alumni MA Al Muayyad tahu 91 yang diprakarsai tim Kupang 91. Halaman yang biasanya hanya berisi gilasan roda roda mobil penyewa vila kini terasa tenang dengan lantunan tahlil, muqodaman dan doa –doa panjang yang dipanjatkan oleh Kya Ali Subhan. Ada doa yang menggelitik, “ Semoga yang  menduda segera mendapatkan gadis dan yang menjanda segera mendapatkan perjaka.”Tentu saja doa itu adalah doa kelakar yang dilontarkan begitu saja untuk menghangatkan silaturahmi antar alumni yang sudah tak bersua cukup lama.

 

 

Aku duduk diantara teman-teman  menikmati pertemuan yang indah ini sambil mengikuti acara yang digelar.  Dulu di Aliyah aku adalah siswa yang tak tekenal, pendiam dan  hanya teman sekelas saja yang mengenalku itupun terbatas teman-teman perempuan dan teman sekamar tentu saja, kamar 9-10 mungkin. Ada kerinduan untuk menjadi muda kembali yang tanpa beban. Namun tentu usia dan tanggung jawab tak bisa membuat kita menjadi bebas begitu saja. Dan ini tergambar apik dalam tema reuni, “ Merasakan kenangan dan menerima kenyataan.” .” Merasakan kenangan karena sebagian hati kita masih terisi dengan masa-masa indah di Aliyah dan pondok Al Muayyad. Menerima kenyataan sebab kita hidup di masa kini dengan keluarga  di rumah yang setia mendampingi, dengan beragam profesi yang menuntut kita utuk tetap tegak dan usia yang meminta kita untuk dewasa dalam berfikir.

 

 

Ya, begitulah reuni. Reuni seperti mencari sosok baru tubuh sahabat  lama kita. Tak boleh kita memaksakan dia tetap ceria dan muda seperti saat masih menaiki tangga-tangga di kelas MA Al Muayyad. Kalau sekarang kita menerima mereka sebagai teman yang sebagian rambutnya telah memutih terimalah. Bila  menemukan mereka dalam bahasa yang lekat dengan bahasa keluarganya, dengarkanlah. Mungin saja kita juga sudah bukan yang tiga puluh tahun lalu. Kita banyak berubah karena panggung sandiwara hidup ini  menggiring kita untuk berubah seriring waktu. Tetapi yang tak berubah, di dalam hati kita ada sepotong kenangan kala sama-sama berjalan di tangga-tangga kelas MA Al Muaayad 91. Bisa kita nikmati sambil mensyukuri masa kini kita.

 

 

 

 Dari bincang-bincang ringan aku mengamati bahwa semua teman-temanku ini hebat. Semua berjuang sesuai perannya, berkiprah sesuai dengan keahliannya . Ada yang setia mendidik putra putrinya di rumah, ada juga yang berjuang mengembangkan keahlian dan baktinya di masyarakat. Seperti taman yang berisi beraneka bunga dan pepohonan, setiap pribadi punya peran untuk membuat taman itu indah meski ia hanya rumput kecil penutup tanah.

 

 












Teruskan membaca... »»  

MENYUSURI KAMAR 9-10

 



Dalam kenangan, kumasuki kamar 9-10 yang berada di tengah-tengah lantai dua gedung pesantren putri Al Muayyad ini. Kala itu tahun 1990. Sebenarnya kamar kami, 9-10 adalah dua kamar yang dijadikan satu, maka namanya kamar 9 – 10, artinya penghuni kamar 9 dan kamar 10 yang disatukan dalam sebuah kamar yang ukurannya dua kali lipat dibandingkan dengan kamar –kamar yang lain. Menurutku kamar kami sebenarnya bukanlah kamar yang sebenarnya, tetapi lebih mirip sebuah persegi panjang yang terbentuk dari lemari-lemari yang berjajar sebagai dinding atau pagar. Di luar pagar itu ada akses gang kecil yang digunakan untuk lalu lalang para santri dari kamar-kamar lain.

 

Untuk memasuki kamar 9-10 ada satu pintu yang tersedia, berada di tengah-tengah di sisi selatan. Di situlah lemariku berada, tepatnya di sebelah timur pintu gerbang. Untuk mengingat  nama-nama dan wajah teman-teman kamar itu haruslah mengingat di mana letak lemarinya, begitu memori otakku bekerja. Ya, wajar, sudah sekitar tiga puluh lima tahun yang lalu, jadi ingatan ini hanyalah  samar-samar .Mungkin beda kepala beda cara mengingatnya ya. Aku yang cendenrung bergaya belajar visual lebih nyaman kalau mengingat dengan menggambarkannya terlebih dahulu dimana letak lemari-lemari itu.

 

 

Aku bisa mengamati dengan jelas bahwa setiap santri akan berdiri cukup lama di titik depan lemarinya masing-masing. Dari pagi hari memulai persiapan ke  sekolah, makan di siang hari, mempersiapkan  belajar di sore hari, sampai malam hari mereka bersiap tidur, pasti tak jauh-jauh dari lemari miliknya. Bahkan kalau ada teman kamar lain yang datang mereka seringkali mengobrol di depan lemari tuan rumah. Yach, mirip kamar tamu mini gitulah. Haha, padahal titik itu begitu sempit, jangan bayangkan lemari itu berdaun pintu lebar berjumlah dua , tiga atau lebih. Ya Allah, lemari itu hanya sebuah lemari kecil berukuran lebar sekitar 70 cm dan tinggi setinggi kepala kami bahkan ada yang setinggi sebatas telinga kami saja. Bentuknyapun beraneka ragam. Kami menyimpan pakaian  dan buku-buku di lemari mungil itu. Kadang juga piring bersih kami simpan di atas atau bawahnya, berdampingan dengan ciduk sabun mandi meski tak disarankan. Di sebelah kamar sudah disediakan tempat ciduk sabun mandi tetapi kadang teman-teman suka menyimpannya di bawah lemari, termasuk aku. Takut menguap kalau aku taruh di tempat lain.

 

 

Aku sering duduk di depan lemari tanpa bersandar, karena pasti kalau aku bersandar maka lemari itu akan bergeser dan menutupi  gang di sebahnya. Aku kadang iri dengan lemari punya mbak Mardiyah yang letaknya di bersentuhan dengan dinding tembok di sebelah utara. Nyaman buat bersandar, tak takut oleng tertimpa punggung kami yang lelah sehabis sekolah. Di sebelah timurku ada lemari Mbak Ika yang rumahnya Jogja. Ke pojok tenggara ada mbak Bintu mahasiswi UNU yang punya perawakan  tinggi semampai dam bibir yang luwes kalau sedang bercerita. Di dekatnya ada mbak Tobibah yang berambut pendek lurus dan berpipi padat menggemaskan. Ke utara, tepat di tengah-tengah bagian timur ada mbak Nur Azizah dari Semarang. Ia santri yang cenderung pendiam dan selalu menggelar tikar di depan lemarinya kalau mau bersiap tidur malam hari.

 

Pojok sebelah timur laut aku agak lupa, tetapi mungkin di sana ada lemari Siti Sukaeni atau mbak IIn dari Krobokan Semarang yang menjadi teman sebangkuku di kelas Biologi. Beberapa kali aku menginap di rumahnya di Semarang sana, ia adalah gadis yang tegar dalam membimbing adik-adiknya. Nama ibunya sama dengan nama ibuku. Tulisannya rapi dan bagus, walau kalau ulangan sering nyotek padaku terutama bahasa Arab, haha.

 Ke sebelah barat lagi ada lemari mbak Mardiyah yang sangat aku impikan posisinya. Lemari itu berwarna hitam, sedikit lebih besar dan berada di tempat yang nyaman untuk bersandar  sepertinya.

 

 

Berjalan ke barat di sana ada deretan lemari dari adik adik yang berasal dari Karawang. Ada Ifi, Ade Sa'diyah dan lainnya. Juga adik-adik dari Boyolali dan sekitarnya, ada Isma, Umi Kalsum dan Zulfa.  Ifi punya wajah yang khas sehingga mudah kuingat, wajahnya manis dan agak centil, berbeda dengan kakaknya  Syarifah  yang Ayu dan lebih pendiam dan keibuan. Umi Kalsum yang dari Kalioso punya wajah yang  tirus juga mudah kuingat. Sedang Zulfa paling cantik diantara mereka dan paling vokal .

   Zulaikah, yang rumahnya dekat dengan pasar Ampel Boyolali, yang ayahnya juragan sapi dan ibunya berjualan di pasar Ampel, mempunya wajah imut-imut. Layak diberi status anak ragil yang manja. Aku pernah menginap di rumahnya yang sunyi, besar dan nyaman.

 

Adik yang lain, Istiroah, ia punya rambut panjang yang dikepang dua, seperti gadis-gadis tahun 75an. Dan satu adik yang bermata India adalah Umi Mubarokah dari Klaten. Ia gadis yang sederhana dalam berbicara dan bersikap dibandingkan dengan teman-teman lain. Lemarinya di sebelah barat daya bersama dengan lemari Istiroah dan lainnya.

 

Satu kakak kelas yang aku lupa dimana lemarinya tetapi masih sangat kuingat adalah mbak Suniah dan mbak Umi Hastuti. Mbak Umi yang punya rambut Ikal dan murah senyum ini berasal dari penggaron  deket mranggen. Ia selalu tersnyum, jarang tampak masam wajahnya. Sedangkan mbak Suniah adalah kakak yang jalannya lenggak lenggok dengan badan yang sintal bak peragawati.

 

O, iya , masih telewat dua teman seangkatan yang aku lupa letak lemarinya tetapi begitu lekat di ingatan. Muyasaroh dan Fauziyah. Keduanya sering bersama kemanapun. Muyas dari Ngawi dan mbak fauziyah dari gunung kidul. Muyas ini begitu vocal dan selalu ceria, bahkan ketika patah hati sekalipun ia tetap tertawa, haha. Fauziyah teman ramah  dan kalau mengobrol gaya gunung kidulnya begitu kental. Ia juga murah hati, aku sampai kekeyangan kala main ke rumahnya di gunung kidul sana, tepatnya di daerah Sambeng.

 

Tepat di bagian barat ada lemari mbak Nur Fauziyah yang berparas ayu seperti paramitha Rusadi. Ia berasal dari Purwokerto. Berdekatan dengan lemari Tutut Kusriani, adik kelas yang punya tubuh tegap dan punya hoby renang kala masing di kampung halaman di Lampung sana. Ia adalah adik kelas yang paling aku ingat. Kata-katanya tegas dan terus terang, sering mengatakan dengan jelas apa yang kadang kurang bisa kukatakan. Ia bisa bilang “ tidak “ dengan tegas apabila ada hal yang kurang kami suka. Sedangkan aku terikat dengan kata “pekewuh” sebagai orang jawa.

 

 

 

 

 

 

Teruskan membaca... »»  
 

Sample Text