Hidup akan terasa indah dan bermakna jika kita dapat menghasilkan karya. Seorang
ibu yang berhasil memasak enak hingga anaknya merindukan masakannya ia akan
merasakan makna dalam hidupnya. Seorang penulis yang baru saja selesai
menerbitkan sebuah buku akan
berpendarlah rasa bahagia dalam hatinya. Seorang petani yang melihat padi
menguning dalam hatinya berbuncah rasa syukur. Hasil dari suatu usaha selalu
menimbulkan rasa bermakna. Karena itu memasak yang menghasilkan hidangan
menjadi sangat menyenangkan bagi seorang koki, menulis menjadi kegiatan penuh
makna bagi seorang penulis dan tentu saja mengajar menjadi hal yang
menggairahkan bagi seorang guru.
Jika ada guru yang kurang bergairah dalam mengajar
kemungkinan besar ia belum klik
dengan profesinya. Kita maklum banyak guru di negeri kita ini yang berasal dari
lemparan nasib, misal inginnya menjadi
manajer tetapi karena tidak kesampaian maka ia menjadi guru. Ada yang bercita- cinta menjadi pejabat pemerintah
tetapi karena tidak ada peluang maka ia “terpaksa” menjadi guru. Seakan menjadi
guru itu suatu profesi yang mudah didapat, maka orang beramai –ramai menjadi
guru.
“Wajar kalau aku
tak bergairah, lha itu bukan
passionku, “ Tak layak kita mengatakan
seperti itu. Guru adalah profesi
pilihan, terlepas dari mana kita
berasal dan bagaimana kita awal mulanya memlilih profesi ini, tetapi ketika
sudah terjun ke dunia guru maka kita harus menjalankan profesi dengan penuh
totalitas.
Sesungguhnya Allah senang
apabila salah seorang diantara kamu mengerjakan suatu pekerjaan, bila ia mengerjakan
dengan baik. ( Hadist)
Manusia dibekali punya tiga kekuatan untuk
berkarya: kekuatan fisik untuk
mengerjakan karya yang membutuhkan otot yang kuat, Kekuatan pikir untuk mendorong pemiliknya untuk menghasilkan
pengetahuan. Dan kekuatan kalbu, yang menjadikan manusia mampu merasakan keindahan, berimajinasi, berima serta
beribadah kepada penciptanya.
Setiap ranah punya jatah tersendiri. Ranah kita adalah
olah pikir, jadi tingkatkan pengetahuan kita sepanjang waktu. Sangat
menguntungkan jika kita terus mengasah otak dengan menambah perbedaraan ilmu ,
kususnya ilmu yang menjadi bidang kita. Makin kaya ilmu makin leluasa kita
membahasnya di depan para siswa. Dan tentu makin membuat kita betah
berlama-lama di kelas.
Sebagaimana orang yang mendaki gunung pengetahuan ,
ketika kita sudah mencapai lereng yang paling tinggi pandangan kita menjadi
makin luas. Dari sekian macam kenikmatan, kenikmatan memiliki ilmu adalah
kenikmatan tertinggi. Kita ingat di
waktu kanak-kanak menangis ingin
memiliki mainan karena mainan itulah
kenikmatan yang kita dambakan. Setelah remaja maka kenikmatan bersosialisasi dengan
teman-teman hadir sebagai kenikmatan yang ingin kita penuhi.
Ketika dewasa kita membutuhkan uang ataupun status di
masyarakat untuk memenuhi kenikmatan sebagai “orang.” Nah di masa itu ilmu
merupakan kenikmatan non materi yang didambakan oleh semua jenjang usia.
Lihatlah, bagaimana seorang anak bersemangat ketika menceritakan mainannya,
memperagakan bagaimana ia menjaga dan memperbaiki kala mainan itu rusak. Betapa
bersemangatnya kala ia menceritakan jagoannya yang ia tonton di sebuah film
laga. Itu semua adalah pengetahuan tentang sesuatu dan ia merasa sangat
menikmatinya. Begitupun seorang ibu akan
bersemangat meneceritakan bagaimana ia menemukan resep masakan yang
baru. . Pun kita akan bersemangat untuk
mengurai ilmu pengetahuan, membahas dan menambahnya dengan aplikasi di
kehidupan sehari-hari.
Berbagai macam motivasi tertanam dalam benak orang yang
bekerja. Ia bisa termotivasi oleh uang, status sosial, kekuasaan, kepuasan
batin dan juga motivasi pengabdian.
Motivasi uang memandang pekerjaan adalah sarana untuk kaya, maka ia akna
matu-matian bekerja sepanjang waktu untuk mengumpulkan uang. Ia juga sangat menutut
gaji atau honor yang dibayarkan untuknya, kurang seberapa rupiah saja ia akan
memprotes. Kurang tepat waktu sedikit saja ia akan gundah, kapan gajian
datang. Jika ia sportif ia akan
meningkaykan kualitas cara kerjanya agar mendapatkan uang yang lebih banyak,
namun bila ia seorang pemalas ia hanya bekerja asal-asalan dengan mengaharapak
gaji tinggi dan tepat waktu.
Status sosial juga bisa mendorong orang untuk bekerja.
Kehormatan di masyarakat kala ia dipanggi sebagai “Pak Guru atau Bu Guru” membuat ia bertahan
untuk tetap bekerja sebagaimana profesi guru dijalani. Ia menjaga sepenuh hati
agar profesinya tidak hilang. Maka orang yang punya motivasi ini mudah depresi
kala purna tugas, dimana ia tak lagi dihormati masyarakat sebagai mana sebelum
ia purna tugas.
Motivasi selanjutnya adalah kekuasaan, apa sih yang bisa
dicapai oleh guru dalam hal kekuasaan? Hamper tidak ada, guru tak punya
jalur-jalur yang mengarah ke sana. Paling tinggi menjadi pejabat setelah ia
alih fungsi.
Motivasi yang lebih langgeng adalah kepuasan batin.
Panggilan jiwa bahwa dengan mengajar ia merasa bahagia. Seorang guru yang
ditempatkan di daerah terpencil , jauh dari akses dan fasilitas memadai namun
ia merasa bahagia adalah dampak dari motivasi kepuasana batin. Ia akan mengabdi
sepenuh hati. Lebih lengkap lagi jika kepuasana batin itu kita hubungkan dengan
ibadah atau pengadian kepada Allah. Pengabdian yang tulus menguatkan daya tahan
kala menghadapi hambatan. Misal kegagalan dalam mendidik siswa, bagi seorang
pencari kepuasan batin ia akan merasa kecewa merasa dirinya tak maksimal.
Alangkah baiknya kalau ia melengkapi motivasi itu dengan niat pengabdian pada
Allah. Rasa kecewa tentu ada tetapi ia tetap dapat menghargai usahanya selama
ini . tak hanya hasil, ia akan melihat proses yang telah ia tempuh, lalu
mensyukuri anugerah itu. Sebagaimana ikrarnya dalam shalat :
Sesungguhnya sahalatku, ibadahku,hidup dan matiku semua hanyalah untuk Allah, pemelihara seluruh alam.
naskah_ke_21
tantangan_menulis_70_hari