Masih ingatkah Anda tentang sebuah metode KonMari yang diperkenalkan Mario Kondo dari Jepang beberapa tahun yang lalu? Ia memperkenalkan suatu cara untuk mengurangi dan menata barang-barang yang ada di rumah agar rapi. Lalu di Indonesia sendiri ada komunitas serupa yang dinamakan gerakan Gemar Rapi. Konsepnya hampir sama, membenahi barang-barang, merapikan dan membuang yang tak berguna. Bedanya komunitas Gemar Rapi menyesuaikan metode ini sesuai dengan budaya asli Indonesia. Warga Indonesia yang punya latar belakang bekas bangsa jajahan mempunyai kemelekatan terhadap barang-barang yang begitu kuat. Ibarat orang susah, ketika mendapatkan kesempatan untuk mengumpulkan barang yang meluber di pasaran mereka berlomba-lomba hingga menumpuk di rumah. Apalagi saat ada produk murah dari China mereka dengan mudah memborong barang-barang itu.
Apa dampaknya bila kita mengumpulkan barang-barang
terlalu banyak? Sepatu berpuluh pasang, baju di lemari menumpuk padahal jarang
dipakai, aksesoris rumah, jilbab atau
aksesoris kendaraan kita borong terus. Panci-panci yang dibeli tahun kemarin
belum dipakai untuk masak sudah beli panci baru lagi dan sebagainnya. Saya
sering melihat orang membeli bukan karena membutuhkan tetapi karena temannya
membeli barang itu juga. Jadilah rumah kita seperti museum yang penuh barang-barang
jarang dipakai. Kalau sudah benar-benar penuh larilah barang-barang itu ke
tempat sampah. Dunia akan penuh sampah kalau setiap orang membuang barang-barangnya setiap hari.
Banyaknya barang-barang membutuhkan perawatan, paling
tidak menempatkan barang itu agar mereka “punya rumah,’ di rumah kita. Kalau
tak punya rumah sulitlah kita menemukan alamat mereka. Mau mencari kunci sepeda
motor saja butuh bermenit menit karena tak tahu tegeletak di mana. Mencari
sebuah peniti jilbab saja sudah membuat
galau karena dengan kacaunya barang-barang itu menghambat waktu kerja
kita. Apa akibatnya ? Waktu kita tersita untuk membenahi barang-barang yang
kita punya, kala tak mau menerima risiko lebih fatal, terganggunya pekerjaan
utama.
Sebagai guru yang lebih
mengutamakan perkembangan kognitif dibandingkan mengumpulakn
barang-barang saya kira tepat kalau menjalankan pola hidup sederhana, memiliki
sesedikit mungkin barang-barang. Mengapa ? Usia kita amat terbatas, misal usia
kita enam puluh tahun, sebenarnya kita hanya hidup selama empat puluh tahun.
Bukankan kita tidur delapan jam sehari semalam , yang berarti sepertiga dari
hidup kita. Kalau hidup kita enam puluh tahun berarti yang dua puluh tahun
digunakan untuk tidur. Sedang yang empat puluh untuk beraktifitas. Bisa kita
kurangi lagi, kita tidak tahu nanti di ada ”jadwal sakit “ yang memaksa untuk terbaring, tidak
produktif. Asumsikan saja lima tahun tidak produktif, ditambah masa balita yang
belum produktif, kira-kira tujuh tahun.
Sehingga tahun efektif kita hanya sekitar tiga puluh tiga tahun jika jatah usia
kita enam puluh tahun. Nah, sedikit bukan?
Alangkah sayangnya kalau waktu yang sedikit itu habis untuk merawat
barang-barang. Coba berapa baju yang sering kita pakai, berapa pasang sepatu
yang sering kita pakai, berapa jumlah alat memasak yang benar-benar kita
gunakan? Alih-lalih kita mengoleksi buku yang menunjang kebutuhan
inetelektulitas , kita malam memborong barang-barang yang kurang berguna.
Sejatinya, kita hanya membutuhkan barang-barang untuk hidup ini. Saya kagum
pada lelaki hebat yang menjadi utusan Allah, kala wafat ia tak punya sesuatu
barang untuk diwariskan kecuali sebilah pedang,
baju perang dan sepasang sepatu hadiah dari Raja Negus. Lihat bahwa semua yang beliau
tinggalkan adalah barang-barang yang memang beliau pakai, bukan barang-barang
yang sifatnya untuk mencari kesenangan.
Darimana barang-barang itu berasal ?
Berasal dari sikap kita yang gemar mengumpulkan barang,
mulanya membeli tanpa pertimbangan matang apakah barang itu begitu penting atau
tidak penting. Di sinilah kita perlu membuat daftar prioritas barang yang akan kita
beli. Saat ini para penjual begitu getol untuk membuat konsumennya tertarik.
Berbagai media mereka banjiri dengan promo.
Kita saja yang sudah lebih matang berfikirnya dibandingkan mereka yang punya wawasan lebih
dangkal tentang sikap boros, itupun seringkali terjebak dalam membeli barang-barang kurang
berguna. Misal di sekolah, begitu sales menawarkan alat masak model baru, sibuklah kita memilih dan
menawar. Sampai rumah taruh saja di lemari alat dapur, sampai satu tahun belum
dipakai.
Meski barang-barang membanjiri pasar kalau niat kuat
tertancap di hati bahwa kita ingin hidup sederhana dengan menggunakan
barang-barang yang perlu saja, saya yakin para sales akan segera meninggalkan
kita dengan tangan kosong. Bukan ingin mengurangi rezeki sales niat kita,
justeru kita membantu para sales untuk ikut berbenah juga. Permintaan pasar
terhadap barang yang berkualitas yang makin banyak dengan mengesampingkan barang
murah tetapi kurang kualitas, membuat mereka juga mencari dagangan sesuai permintaan
pasar. Saya cukup prihatin dengan membanjirnya produk China yang kebanyakan
barang-barang murah tetapi cepat rusak. Memang murah dan mudah mendapatkanya
tetapi kalau hanya terpakai dalam hitungan bulan saja, bukankah jatuhnya
menjadi mahal sebab kita harus membeli lagi? Jadi menurut saya, ya sikap kita
yang perlu dibenahi. Perlu bersabar untuk membeli produk berkualitas, rajin
memilah dan memilih saat yang tepat untuk membeli serta menanyakan lagi, “apa
memang saya perlu barang itu sekarang?”
Memang perlu perjuangan agar kukuh bagai baja melawan godaan
membeli. Alam bawah sadar bangsa Indonesia yang pernah dijajah sehingga hidup
dalam kekurangan bertahun-tahun membuat rasa ingin mengumpulkan barang sebanyak
banyaknya itu hadir kala barang
bertebaran di pasaran. Inilah salah satu sebab mengapa budaya hidup
sederhana di tanah air masih menjadi prinsip
yang terasa asing. Padahal jauh hari Islam telah mengajarkan untuk hidup
tak berlebih-lebihan.
“…Makan dan minumlah, dan janganlah
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan.” ( Al A’raf : 31)
Hafal lika liku km 9 - 10
BalasHapus