Social Icons

Pages

Jumat, 17 Juni 2022

HARGA DIRI

 

Saya membaca semangat Ki Hajar Dewantara dalam membentuk pendidikan di Taman Siswa. Salah satu sebab timbulnya semangat itu demi memperjuangkang harga diri bangsa Indonesia. Pada saat itu dalam rangka  politik etis, Belanda memberikan “balas budi” berupa pendidikan pada putra putri Indonesia. Mereka diberikan kesempatan untuk bersekolah di sekolah yang didirikan Belanda, dengan sebutan kaum Inlander. Anak–anak Inlander dididik berdasarkan kepentingan Belanda. Mereka dipersiapkan agar bisa menjadi “pembantu” Belanda yang taat dan tak  banyak membantah. Inilah pendidikan yang mengekang kebebasan, beraromakan penjajahan. Lambat laut  rasa cinta tanah air kian surut. Bahkan ada yang sudah  lenyap berganti dengan ketaatan pada bangsa  penjajah.

 

Melihat semua itu Ki Hajar merasa sedih. Ia berniat mengembalikan para Inlander kepada pendidikan yang memberikan harga diri dan  kemerdekaan. Merdeka bercita-cita, merdeka dalam menempuh pendidikan, merdeka dalam mencintai tanah tumpah darah.

 

Kemudian  beliau mendirikan  Taman Siswa. Dalam masa pendirian itu Ki hajar memberikan  contoh untuk tak menjual harga diri pada penjajah. Kendati modal untuk mendirikan sekolah kadang tersendat, beliau  tak mau menerima uluran tangan dari pihak Belanda. Ia junjung harga diri Taman Siswa  agar ia tak terikat dengan bantuan itu. Akhirnya  Taman Siswa berkembang dan banyak membuka cabang di berbagai wilayah Indonesia.  Sejak bersekolah di sana para siswa mulai bisa menegakkan kepala , berjalan tanpa rasa rendah diri sebagai   bangsa terjajah.

 

Mari   menjaga harga diri !

 

Ada nilai  budaya Jawa yang disebut dengan perwira. Artinya menjaga harga diri. Meski sakit melanda , meski sulit melilit seorang yang memegang prinsip perwira tidak akan melolong minta tolong. Ia akan mengatasi kesulitannya sendiri. Jangan sampai ia menjadi beban orang lain. Orang perwira meski sangat membutuhkan ia pantang menadahkan tangan. Maka dalam bersedekah  ada anjurkan untuk memberikannya  pada dua macam orang fakir, yaitu yang terang-terangan membutuhkan dan fakir tersembunyi yang membutuhkan uluran tangan tetapi mereka diam saja. Enggan menampakkan kebutuhan pada manusia lain.

 

Dalam ajaran Islam ada istilah iffah, artinya sama, menjaga harga diri.  Ingatlah  kisah Nabi Musa kala dalam perjalanan ia kehausan dan kelaparan.  Ia hanya berteduh di bawah pohon sambil memandang orang-orang yang memberikan minuman pada hewan ternaknya di sumur. Rasa haus yang melanda tidak membuat ia buru-buru meminta tolong pada orang-orang tak dikenalnya tersebut. Justeru dialah yang akhirnya menolong dua gadis yang kerepotan memberikan minum hewan ternak mereka. Ketika sudah selesai memberikan pertolongan Musa kembali berteduh sambil berdoa, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat berharap terhadap rezekiMu.”

 

 Betapa mulianya manusia.

 

Kala Allah menciptakan sosok manusia, pada saat itu keindahan dan kesempurnaan  tercipta. Ya, kita diciptakan dengan kesempurnaan termasuk orang yang maaf, kaum difabel ,yang kita anggap memiliki kekurangan. Kekurangan yang kita lihat adalah akibat  kurangnya pengetahuan kita pada “sejarah” penciptaan manusia yang begitu panjang dan rumit. Laksana setetes ilmu manusia dibandingkan dengan ilmu Allah yang sebanyak air di samudra.  Menyadari ini, kita menjadi sangat yakin bahwa  dalam diri kita ada kemuliaan yang tak pantas kita tukar dengan harga berapapun. Hanya barang daganganlah yang punya harga, kita adalah makluk yang mulia, tak ada harga yang pantas yang dapat membeli diri kita.

 

Manusia akan jatuh harga dirinya kalau ia menjatuhkan martabatnya pada perbuatan yang tidak baik. Menyakiti  sesama sama saja menjatuhkan harga diri. Menyia-nyiakan waktu dan potensi dengan bermalas-malasan sama dengan berjalan menuju jurang kerendahan harga diri. Begitu pula  menilai  diri kita secara tergesa-gesa bahwa kita lemah, tidak punya sumber daya, memalukan, tak patut dihargai atau merasa sangat rendah dibanding orang lain , adalah bentuk ketidak percayaan diri kita pada Allah Sang pencipta.

 

Hati-hati dengan silaunya dunia karena bisa membuat mata  kita keliru memandang. Melihat  orang berpakaian bagus dan mengendarai  kendaraan bagus kita menghormati dan menganggap ia sangat tinggi. Ketika ada seorang yang berpakaian sederhana kita langsung mengklaim bahwa ia tak layak dihormati.

 

Apabila harga diri sudah terbeli maka ke manapun kita memandang akan terasa orang-orang merendahkan kita. Bayangkan seorang yang tertangkap basah berdua dengan   istri  orang lain, pasti ia akan merasa sangat  malu. Kemana saja mukanya menghadap akan menguarlah rasa malu yang menyiksanya. Bahkan waktupun kadang tak bisa menyembuhkan rasa malu itu sehingga menimbulkan trauma pada dirinya. Disamping kerugian berupa terhambatnya  dalam bergaul  dengan masyarakat.  Guru tanpa harga diri tak akan tegak berdiri di depan kelas. Padangannya tertunduk kala menatap para siswa yang seharusnya ia beri contoh yang baik. Pun gelisah di tengah masyarakat karena dosa yang menghantuinya.

 naskah_ke_18

tantangan_menulis_70_hari 

 

 

 

 

 

 

 

 

4 komentar:

  1. Masya Allah, Bu Rohati...
    Semangat terus Bu untuk menginspirasi😍

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimakasih Ibu...atau bapak siapa ya ? mohon maaf tidak bisa sebut nama, hehe

      Hapus

 

Sample Text