Saya membaca semangat Ki Hajar Dewantara dalam membentuk
pendidikan di Taman Siswa. Salah satu sebab timbulnya semangat itu demi memperjuangkang harga diri bangsa Indonesia. Pada saat itu dalam rangka
politik etis, Belanda memberikan “balas budi” berupa pendidikan pada putra
putri Indonesia. Mereka diberikan kesempatan untuk bersekolah di sekolah yang
didirikan Belanda, dengan sebutan kaum Inlander. Anak–anak Inlander dididik
berdasarkan kepentingan Belanda. Mereka dipersiapkan agar bisa menjadi
“pembantu” Belanda yang taat dan tak
banyak membantah. Inilah pendidikan yang mengekang kebebasan,
beraromakan penjajahan. Lambat laut rasa
cinta tanah air kian surut. Bahkan ada yang sudah lenyap berganti dengan ketaatan pada
bangsa penjajah.
Melihat semua itu Ki Hajar merasa sedih. Ia berniat
mengembalikan para Inlander kepada pendidikan yang memberikan harga diri
dan kemerdekaan. Merdeka bercita-cita,
merdeka dalam menempuh pendidikan, merdeka dalam mencintai tanah tumpah darah.
Kemudian beliau
mendirikan Taman Siswa. Dalam masa
pendirian itu Ki hajar memberikan
contoh untuk tak menjual harga diri pada penjajah. Kendati modal untuk
mendirikan sekolah kadang tersendat, beliau
tak mau menerima uluran tangan dari pihak Belanda. Ia junjung harga diri
Taman Siswa agar ia tak terikat dengan
bantuan itu. Akhirnya Taman Siswa
berkembang dan banyak membuka cabang di berbagai wilayah Indonesia. Sejak bersekolah di sana para
siswa mulai bisa menegakkan kepala , berjalan tanpa rasa rendah diri sebagai
bangsa terjajah.
Mari menjaga
harga diri !
Ada nilai budaya Jawa yang disebut dengan perwira.
Artinya menjaga harga diri. Meski sakit melanda , meski sulit melilit seorang
yang memegang prinsip perwira tidak akan melolong minta tolong. Ia akan
mengatasi kesulitannya sendiri. Jangan sampai ia menjadi beban orang lain.
Orang perwira meski sangat membutuhkan ia pantang menadahkan tangan. Maka dalam
bersedekah ada anjurkan untuk memberikannya pada dua macam orang fakir, yaitu yang
terang-terangan membutuhkan dan fakir tersembunyi yang membutuhkan uluran
tangan tetapi mereka diam saja. Enggan menampakkan kebutuhan pada manusia lain.
Dalam ajaran Islam ada istilah iffah, artinya sama, menjaga harga diri. Ingatlah
kisah Nabi Musa kala dalam perjalanan ia kehausan dan kelaparan. Ia hanya berteduh di bawah pohon sambil
memandang orang-orang yang memberikan minuman pada hewan ternaknya di sumur.
Rasa haus yang melanda tidak membuat ia buru-buru meminta tolong pada
orang-orang tak dikenalnya tersebut. Justeru dialah yang akhirnya menolong dua
gadis yang kerepotan memberikan minum hewan ternak mereka. Ketika sudah selesai
memberikan pertolongan Musa kembali berteduh sambil berdoa, “Ya Tuhanku,
sesungguhnya aku sangat berharap terhadap rezekiMu.”
Betapa mulianya manusia.
Kala Allah menciptakan sosok manusia, pada saat itu
keindahan dan kesempurnaan tercipta. Ya,
kita diciptakan dengan kesempurnaan termasuk orang yang maaf, kaum difabel
,yang kita anggap memiliki kekurangan. Kekurangan yang kita lihat adalah
akibat kurangnya pengetahuan kita pada
“sejarah” penciptaan manusia yang begitu panjang dan rumit. Laksana setetes
ilmu manusia dibandingkan dengan ilmu Allah yang sebanyak air di samudra. Menyadari ini, kita menjadi sangat yakin
bahwa dalam diri kita ada kemuliaan yang
tak pantas kita tukar dengan harga berapapun. Hanya barang daganganlah yang
punya harga, kita adalah makluk yang mulia, tak ada harga yang pantas yang dapat
membeli diri kita.
Manusia akan jatuh harga dirinya kalau ia menjatuhkan
martabatnya pada perbuatan yang tidak baik. Menyakiti sesama sama saja menjatuhkan harga diri.
Menyia-nyiakan waktu dan potensi dengan bermalas-malasan sama dengan berjalan
menuju jurang kerendahan harga diri. Begitu pula menilai
diri kita secara tergesa-gesa bahwa kita lemah, tidak punya sumber daya,
memalukan, tak patut dihargai atau merasa sangat rendah dibanding orang lain ,
adalah bentuk ketidak percayaan diri kita pada Allah Sang pencipta.
Hati-hati dengan silaunya dunia karena bisa membuat
mata kita keliru memandang. Melihat orang berpakaian bagus dan mengendarai kendaraan bagus kita
menghormati dan menganggap ia sangat tinggi. Ketika ada seorang yang berpakaian
sederhana kita langsung mengklaim bahwa ia tak layak dihormati.
Apabila harga diri sudah terbeli maka ke manapun kita
memandang akan terasa orang-orang merendahkan kita. Bayangkan seorang yang
tertangkap basah berdua dengan
istri orang lain, pasti ia akan
merasa sangat malu. Kemana saja mukanya
menghadap akan menguarlah rasa malu yang menyiksanya. Bahkan waktupun kadang
tak bisa menyembuhkan rasa malu itu sehingga menimbulkan trauma pada dirinya.
Disamping kerugian berupa terhambatnya dalam bergaul dengan masyarakat. Guru tanpa harga diri tak akan tegak berdiri
di depan kelas. Padangannya tertunduk kala menatap para siswa yang seharusnya
ia beri contoh yang baik. Pun gelisah di tengah masyarakat karena dosa yang
menghantuinya.
tantangan_menulis_70_hari
Produktif... inspiratif
BalasHapusterimakasih semangatnya Bu Nurul
HapusMasya Allah, Bu Rohati...
BalasHapusSemangat terus Bu untuk menginspirasi😍
terimakasih Ibu...atau bapak siapa ya ? mohon maaf tidak bisa sebut nama, hehe
Hapus