Sesuai namanya toksik yang berarti racun, orang ini datang menebar racun bagi orang-orang di
sekitarnya. Jika ia berkata menyakiti
teman-temanya, jika ia berargumen suka mematahkan lawan dengan kasar, jika ia
diam wajahnya masam tak enak dipandang. Jika ia tak datang orang-orang merasa aman. Adakah orang seperti
itu di lingkungan Anda? Mungkin ada tetapi kadarnya tak separah yang saya tulis
di atas. Mungkin ia hanya kadang-kadang
saja menjengkelkan, selebihnya ia teman yang
siap diajak bekerjasama. Mungkin
ia hanya kadang-kafang saja menyakiti
selebihnya ia dalah teman yang
setia. Kalau begitu asumsi kita tentang kata ”toksik” berarti setiap orang
punya potensi untuk menjadi toksik.
Kita sepakati dulu dari kacamata yang mana kita
memandang si toksik. Toksik atau tidaknya tergantung siapa yang bilang. Tukang
tunda pekerjaan akan bilang si rajin dengan toksik karena menganggu kesenagan
untuk bermalasan, mengusik ritual malasnya dengan tagihan
pekerjaan, “ Mana RPP Anda? Mana analisis Nilai Anda? “ Si lambat akan bilang
si gesit adalah toksik karena si gesit berlari yang membuatnya kesulitan
mengikuti hingga pontang panting. Dengan merehkan ia akan bilang, “sok
pahlawan.” Sedang generasi tua melihat genarasi muda yang memutuskan secara
cepat ia akan bilang, “ si muda yang tergesa-gesa.” Si tukang sunat dana tentu
tak suka dengan si jujur, ia kan bilang, “sok suci.’
Kalau toksik dimaknai atas selera masing-masing maka
saya tidak mendapatkan acuan yang pasti, maka saya pagari batasan toksik
dengan dengan rambu-rambu,” ia adalah
orang yang menghambat visi misi sekolah ,termasuk yang menciptakan suasana
tidak nyaman pada teman-temannya. Sepadan dengan pengertian “anak-anak istimewa
“ yang kita temukan di kelas-kelas. Mereka adalah anak-anak yang menjadi biang
keladi kacaunya kelas. Julukan istimewa adalah doa agar
mereka menjadi baik kembali.
Orang toksik menebarkan racun dari dalam dirinya
kepada orang lain. Racun itu bisa berupa rasa marah, kebencian,
kekecewaan atau emosi negatif lainnya. Saya pernah hidup dengan Bapak
toksik. Hampir setiap rapat- ia kebetulan menjadi kepala Sekolah- mengatakan bahwa sekolah kita ini miskin, Anda
semua jangan berharap sekolah ini memberikan uang yang banyak. Nah, Apa yang
sebenarnya terjadi denganya? Ia marah
pada dirinya yang sedang kekurangan uang. Atau ia ketakutan uang yang ada di
sekolah akan berkurang untuk memberi honor atau gaji pada teman-temanya
sehingga tak ada bagian buat dirinya. Ia
menutupi ketakutan dan ketamakkannya itu
dengan mengintimidasi orang lain.
Cerita lain, seorang Ibu toksik yang
suka mencela teman-teman sekantor. Sebaik apapun perbuatan teman-temannya ia
selalu kurang puas lalu mencelanya, sehingga tercorenglah citra baik temannya.
Apa sebenarnya yang terjadi dengan Ibu toksik ? Dalam dirinya ada rasa superior,
ingin dipuja dan dihormati secara berlebihan maka ia membuat orang lain
seakan akan berada di lembah kehinaan. Ia gila untuk disanjung maka ia membuat
orang di sekelilingnya menjadi “rendah.” Mungkin gaya hidup ala kolonial begitu melekat padanya, yang tinggi
dijunjung yang rendah diinjak.
Pastikan orang-orang seperti ini bukan kita, itu saja
sudah cukup. Untuk mengobati mereka bukan kapasitas kita, diri merekalah yang
harus mengobatinya. Upaya positif kita adalah , bagaimana agar
tidak tertular toksik. Karena dalam diri manusia punya potensi untuk
toksik, ya marilah kita kenali diri dengan baik. Daftarlah segala kekurangan,
akui semua kelebihan. Dalam kekurangan
itu ada kemungkinan terdapat luka-luka batin . Seperti saya kemukakan kasus di
atas, ada luka batin yang membuat mereka meracuni diri dan orang-orang sekitar.
Mereka mengeluarkan racun itu dengan atau tanpa sadar. Dikiranya racun akan membunuh orang lain
padahal racun itu membunuh citra mereka sendiri. Alih alih membuat branding yang baik, mereka malah
menempatkan namanya dalam deretan orang
yang menghambat kemajuan.
Tanpa menerima diri apa adanya kita tak mungkin bisa membuang racun yang melekat di hati. Terima bahwa kita pernah marah pada masa lalu yang kelam, misalnya. Terima bahwa kita punya kebencian pada sosok orang yang lebih berkuasa misalnya. Setelah menerima, sadari bahwa semua peran di dunia ini tak terelakkan, artinya kita sudah diberikan peran untuk melakonkan hidup ini. Miskin hanyalah pakaian, kaya begitu juga. Penderitaan hanyalah masalah jadwal saja, lain kali kita pasti terjadwal bahagia. Orang yang membenci sesuatu biasanya hanya melihat dengan pandangan yang sempit. Jika saja ia memandang dari atas bukit kehidupan, apapun yang dialami oleh manusia adalah hasil dari perbuatannya sendiri. Teman kita yang sukses sudah selayaknya sukses sebab ia berusaha keras. Kita tak boleh menaruh iri dan kencian. Seperti kalau kita mendaki gunung, dari lereng yang tinggi kita bisa melihat bahwa di bawah sana ada ngarai, sawah, bukit kecil, perkotaan, sungai dan semak belukar. Dengan lengkap semua terlihat. Semakin tinggi kita mendaki semakin banyak dan luas pandangan kita. Dalam dunia maya, ketika kita membuka aplikasi facebook melalui gawai maka yang tampak hanya beranda dan fitur tertentu, tetapi begitu kita buka dengan layar komputer atau laptop maka semua fitur akan tampak.
naskah_ke_dua puluh empat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar